Opini
Polisi Sebut Belum Ada Unsur Pidana Pagar Laut PIK-2: Pelayan Rakyat atau Centeng Aguan?
KISRUH pemasangan pagar laut di kawasan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2) terus menjadi sorotan publik. Namun, pernyataan dari aparat kepolisian yang menyebut belum ada unsur pidana dalam kasus ini menuai kritik tajam. Alih-alih bertindak tegas, polisi dinilai justru terkesan melindungi kepentingan oligarki, khususnya Aguan, pengembang utama di kawasan tersebut.
Kepala Korps Kepolisian Perairan dan Udara Polri, Irjen Mohammad Yassin, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait legalitas pagar laut tersebut. Pernyataan ini memunculkan tanda tanya besar: apakah polisi benar-benar menjadi pelayan rakyat atau hanya bertindak sebagai penjaga kepentingan Aguan?
Pelanggaran Jelas, Mengapa Polisi Tunda Penindakan?
Pagar laut PIK-2 yang terbuat dari bambu dengan beban pasir dalam karung jelas menimbulkan dampak serius terhadap ekosistem laut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran pidana lingkungan hidup.
Setidaknya ada beberapa pelanggaran yang bisa dijerat hukum:
Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya
Merusak ekosistem laut dengan pemasangan pagar tanpa izin.
Tindak Pidana Pelanggaran Wilayah
Pemasangan pagar laut tanpa security clearance.
Pasal Pidana Lingkungan Hidup
Melanggar Pasal 97 hingga Pasal 120 UU Lingkungan Hidup.
Namun, alih-alih bertindak tegas, aparat justru berdalih tidak ada unsur pidana. Pernyataan ini bertolak belakang dengan fakta di lapangan dan menunjukkan standar ganda dalam penegakan hukum.
Polisi vs Rakyat Kecil: Standar Ganda Penegakan Hukum
Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana hukum sering kali tegas terhadap masyarakat kecil, tetapi lunak terhadap korporasi besar. Jika masyarakat kecil melakukan pelanggaran kecil sekalipun, mereka langsung ditangkap tanpa proses panjang. Namun, ketika oligarki seperti Aguan diduga melakukan pelanggaran besar, aparat justru seolah mencari-cari alasan untuk tidak bertindak.
Sebagai perbandingan, LBH-AP PP Muhammadiyah bersama koalisi masyarakat sipil telah mengantongi bukti kuat terkait pidana pagar laut PIK-2. Mereka bahkan melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri dengan menyebutkan enam individu dan perusahaan yang diduga terlibat. Namun, hingga kini, tindakan konkret dari kepolisian masih belum terlihat.
Polisi dan Oligarki: Warisan Rezim Jokowi?
Sejak era Jokowi, hubungan polisi dengan oligarki seperti Aguan sering menjadi sorotan. Bahkan, mantan Kapolri Tito Karnavian pernah memuji Aguan sebagai "Bapak Polisi," sebuah pernyataan yang kontroversial. Di era Kapolri Listyo Sigit Prabowo, hubungan ini tampaknya terus berlanjut.
Contoh kecilnya adalah hibah dari Aguan untuk membangun gedung Batalyon A Brimob Polda Metro Jaya di kawasan PIK-2. Penempatan Brimob di PIK-2 ini memunculkan anggapan bahwa polisi lebih sibuk melindungi aset oligarki daripada menegakkan hukum untuk rakyat.
Pagar Laut PIK-2: Simbol Keserakahan Oligarki
Pemasangan pagar laut sepanjang 30 km ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga menjadi simbol nyata bagaimana kekuasaan oligarki bisa mengabaikan hukum. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: apakah ada suap di balik kelambanan polisi dalam menangani kasus ini?
Jika sejak awal bambu pertama ditancapkan, polisi bertindak tegas, konflik ini tidak akan berlarut-larut. Namun, sikap polisi yang lamban dan cenderung membela kepentingan Aguan justru memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Waktunya Polisi Berdiri untuk Rakyat
Kasus pagar laut PIK-2 adalah ujian besar bagi kepolisian. Apakah mereka akan terus dicap sebagai "centeng oligarki," ataukah mulai berbenah dan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat? Kepercayaan publik hanya bisa dipulihkan dengan tindakan tegas dan transparansi penuh.
Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
[Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat/ TA-MOR PTR]