Opini
Perampasan Tanah Rakyat Banten di Proyek PIK-2: Perlukah Komisi III DPR RI Turun Tangan?

PADA SELASA lalu (04/03/25), dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPR RI, sebuah rekomendasi mengejutkan muncul: masalah perampasan tanah rakyat Banten di Proyek PIK-2 sebaiknya dibawa ke Komisi III DPR RI. Mengapa? Karena persoalan ini bukan sekadar soal pertanahan, melainkan telah merambah ke ranah pelanggaran HAM, kejahatan korporasi, dan bahkan ancaman terhadap kedaulatan negara.
Proyek PIK-2, yang digadang-gadang sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), ternyata menyimpan sejumlah masalah serius. Mulai dari praktik pengambilalihan tanah secara paksa, modus "tanah musnah" berdasarkan Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021, hingga kasus pagar laut yang merugikan masyarakat pesisir. Namun, di Komisi II DPR RI, masalah ini belum dibuka tuntas. Data-data terkait kejahatan korporasi, pelanggaran HAM, dan ancaman pertahanan negara masih disimpan rapat-rapat.
Mengapa Komisi III DPR RI?
Komisi III DPR RI, yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan, dianggap lebih tepat menangani kasus ini. Sebab, perampasan tanah rakyat Banten bukan lagi sekadar persoalan administrasi pertanahan, melainkan telah menjadi isu strategis yang mengancam stabilitas nasional.
Praktik pemaksaan pelepasan hak atas tanah, modus reklamasi ilegal, dan keberadaan "entitas negara dalam negara" di kawasan PIK-2 adalah bukti nyata bahwa masalah ini telah melampaui batas-batas hukum biasa. Ini adalah kejahatan terstruktur yang melibatkan korporasi raksasa dan oligarki yang rakus.
Surat Audiensi yang Belum Ditindaklanjuti
Sebenarnya, upaya untuk melibatkan Komisi III DPR RI sudah dilakukan. Dua surat permohonan audiensi telah dikirim: pertama pada 5 Desember 2024, setelah gugatan terhadap Proyek PIK-2 didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kedua pada 10 Maret 2025, usai RDP dengan Komisi II DPR RI. Namun, hingga kini, belum ada undangan resmi dari Komisi III DPR RI.
Padahal, masyarakat Banten telah menyiapkan segalanya: data lengkap, saksi-saksi, dan dokumen pendukung. Mereka siap kapanpun untuk hadir dalam RDP dan RDPU. Bahkan, sejumlah pihak telah menghubungi penulis untuk ikut terlibat dalam proses ini.
Mengapa Kasus Ini Penting?
Kasus perampasan tanah rakyat Banten bukan hanya tentang keadilan bagi warga setempat. Ini adalah ujian bagi komitmen negara dalam menegakkan hukum dan HAM. Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi proyek-proyek strategis lainnya di masa depan.
Kita tidak boleh lagi terjebak dalam narasi bahwa kasus pagar laut dan sertifikat laut hanya berakhir di Arsin Kades Kohod. Nalar sehat kita berontak jika kasus ini hanya dilokalisir di satu titik dan hanya menumbalkan beberapa orang kecil. Yang kita butuhkan adalah pengusutan tuntas, sampai ke akar-akarnya: korporasi dan pemiliknya.
Harapan di Bulan Ramadhan
Dalam suasana Ramadhan yang penuh berkah ini, kita berharap Komisi III DPR RI, yang dipimpin oleh Dr. Habiburrahman, SH, MH, segera mengundang masyarakat Banten untuk menyampaikan aspirasi mereka. Perjuangan membela rakyat dari kejahatan oligarki bukan hanya tugas hukum, tetapi juga panggilan moral yang bernilai pahala.
Kita semua ingin melihat negara ini bersih dari mafia tanah dan oligarki rakus. Perampasan tanah rakyat Banten harus diusut tuntas, tanpa ada satupun pelaku yang lolos dari jerat hukum.
Penulis adalah Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)
#BersihkanNegaraDariMafiaTanah #UsutTuntasPIK2 #HargaiRakyatBanten #KomisiIIIDPRTurunTangan #ReformasiAgrariaNow #PerampasanTanah #PIK2 #HAM #KeadilanSosial #KomisiIIIDPR #Banten #Oligarki #MafiaTanah #ReformasiAgraria #PenegakanHukum