Opini
Oligarki Rakus dan Perampasan Tanah Rakyat: Saatnya DPR Bertindak Tegas!
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

HARI ini, pada Selasa, 04 Maret 2025, Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat resmi diundang oleh Komisi II DPR RI untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait masalah pertanahan. Undangan ini bukanlah kebetulan, melainkan respons atas upaya sistematis perampasan tanah rakyat yang telah lama dilakukan oleh elit oligarki yang bersekongkol dengan aparat dan pejabat.
Kami—yang sebelumnya telah mengirimkan Surat Permohonan Audiensi pada 5 Desember 2024—datang dengan satu tekad: mengungkap modus operandi perampasan tanah yang terjadi di darat maupun di laut, khususnya di proyek PIK-2 yang terus menjadi simbol perampasan tanah oleh kelompok-kelompok mafia tanah seperti Agung Sedayu Group.
Mengungkap Modus Operandi Perampasan Tanah Rakyat
Dalam pertemuan di Ruang Rapat Komisi II di gedung Nusantara DPR RI, kami menyampaikan secara gamblang bagaimana oligarki menggunakan celah hukum untuk merampas tanah rakyat:
Perampasan Tanah Darat
Dengan mendelegitimasi bukti kepemilikan tradisional seperti Petuk Pajak, Girik, Pipil, Kekitir, dan Verponding Indonesia, peraturan yang termaktub dalam Pasal 96 dan Pasal 76A PP No. 18 Tahun 2021 membuka peluang bagi mafia tanah untuk memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama pribadi atau korporasi mereka. Pemerintah, dengan memberikan batas waktu hingga Desember 2025 untuk meningkatkan bukti kepemilikan menjadi SHM, justru memaksa masyarakat yang tidak mampu mengumpulkan biaya untuk mengubah bukti tersebut, sehingga mereka kehilangan hak atas tanah yang sudah turun-temurun dimiliki.
Perampasan Wilayah Laut
Dalam ranah kelautan, istilah 'Tanah Musnah' yang diperkenalkan dalam Pasal 49 UU Cipta Kerja dan diatur lebih rinci dalam Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021 dimanfaatkan untuk mereklamasi wilayah laut. Oligarki bekerja sama dengan desa untuk menciptakan girik palsu, yang kemudian ditransaksikan dan ditingkatkan menjadi sertifikat. Atas dasar inilah, pagar laut dibangun sebagai bentuk penguasaan fisik, dan reklamasi pun dilakukan, sama persis seperti yang terlihat pada kasus pagar laut PIK-2 di Laut Tangerang Utara.
DPR RI turut bersalah karena telah mempelopori terbitnya UU Cipta Kerja yang menjadi landasan hukum bagi PP No. 18 Tahun 2021. Saatnya bagi DPR untuk mengevaluasi dan membatalkan kebijakan yang telah merampas kedaulatan tanah rakyat NKRI.
Kami mengusulkan empat langkah konkrit:
Bentuk Panitia Khusus (Pansus) di DPR RI untuk menyelidiki praktik perampasan tanah rakyat di proyek PIK-2, Provinsi Banten.
Segera Batalkan Status PSN PIK-2 dan hentikan proyek tersebut sampai penyelidikan tuntas.
Batalkan UU Cipta Kerja dengan memasukkannya dalam rencana pembatalan Prolegnas DPR RI, sebagai bentuk pemulihan kedaulatan tanah NKRI.
Tindak Pidana secara tegas kepada seluruh oknum yang terlibat, mulai dari pejabat, aparat, teknisi lapangan hingga pemilik proyek PIK-2.
Sudah Saatnya Bangkit Melawan Oligarki!
Kita tidak bisa lagi terdiam melihat tanah rakyat kita dirampas dengan modus operandi yang telah terstruktur dan sistematis. Kebijakan yang dirancang untuk kepentingan segelintir elit harus segera dihentikan demi keadilan dan kedaulatan tanah Indonesia.
DPR RI, sebagai wakil rakyat, wajib mengambil langkah tegas untuk membatalkan kebijakan-kebijakan yang telah mengorbankan hak-hak rakyat. Mari kita serukan keadilan bagi tanah air!
Penulis adalah Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)
#TanahRakyat #OligarkiRakus #PIK2 #HapusUUCiptaKerja #DPRRIBertindak #StopPerampasanTanah