Nasional

MK Potensial Putuskan Cawapres dengan Syarat Pernah Jadi Kepala Daerah

Redaksi — Satu Indonesia
16 Oktober 2023 09:58
MK Potensial Putuskan Cawapres dengan Syarat Pernah Jadi Kepala Daerah
ADIK IPAR JOKOWI - Ketua MK Anwar Usman

JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Dr Fahri Bachmid S.H, M.H menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi akan memutuskan pasal tambahan sebagai syarat calon presiden dan calon wakil presiden, yakni pernah menjadi pejabat kepala daerah. Karena jika mengubah batas usia minimal, bukan wewenang MK, tetapi merupakan domain pembentuk undang-undang (UU), yaitu DPR dan presiden.

“Saya secara prinsip berpandangan, pada hakikatnya MK tidak berwenang untuk menetapkan norma terkait batas umur usia capres atau cawapres dalam tata norma hukum,” kata Fahri Bachmid, Senin (16/10/2023). 

Menurut Fahri, persoalan penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional yang didasarkan pada berbagai putusan MK, telah meletakan kaidah open legal policy, merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden. Pranata itu harus melalui  proses legislation, wetgeving. 

 Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Dr Fahri Bachmid S.H, M.H

“Dengan demikian, persoalan tersebut harus diletakkan pada konteks statutory rules sehingga harus dikembalikan pada konteks itu,” jelasnya.

Diketahui, MK menjadwalkan sidang pembacaan putusan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal batas usia minimal capres-cawapres, Senin (16/10/2023) hari ini.

Masih menurut Fahri Bachmid, ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi di gedung MK Senin hari ini. Kemungkinan pertama, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima untuk pengujian materiil dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan. 

Kemungkinan berikutnya menurut Fahri yakni,  dalam hal pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan, menolak permohonan pemohon. “Kemudian dalam hal pokok permohonan beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya,” jelasnya.

Varian putusan selanjutnya adalah dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusan adalah mengabulkan permohonan Pemohon.

“Dan yang terakhir, dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),” ujarnya.

Dikatakan, jika kita mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara a quo selama ini, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan, yaitu Pertama, MK dalam putusannya akan penurunan batas usia dari capres/cawapres dari batas usia 40 menjadi 35 tahun; dan Kemungkinan kedua adalah tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus yaitu pernah menjabat atau menjadi kepala daerah dengan segala konsekuensi konstitusionalnya.

“Tentunya dengan melihat pengalaman putusan-putusan MK sebelumnya, termasuk MK pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam Nomor 112/PUU-XX/2022, amar putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”

Dengan demikian, dapat saja MK membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu. Sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku. Tetapi ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu, segala kemungkinan itu dapat saja terjadi, dan jika itu yang terjadi.

“Maka dinamika pada internal Hakim MK akan terbelah, pastinya ada sebagian Hakim MK yang akan mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion ini tentu merupakan produk analisis saya yang bisa saja terjadi atau tidak juga terjadi,” tegasnya. (esa)


Berita Lainnya