Nasional
KPK: Pemberantasan Korupsi, Penting Sinergi dengan Polisi-Jaksa
JAKARTA - Konstitusi negara tidak menyebutkan secara tegas dan jelas model dari struktur aparatur untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebaliknya, konstitusi negara memberikan kebebasan kepada Pemerintah dan Pembentuk Undang-Undang untuk membentuk sendiri aparatur yang dibutuhkan, termasuk memilih model diferensiasi fungsional antara Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk bersinergi melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
“Konstitusi negara tidak menyebutkan secara tegas dan jelas model dari struktur aparatur untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dalam keterangan yang disampaikannya selaku Pihak Terkait, dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (14/6/2023).
Permohonan perkara ini diajukan oleh M. Yasin Djamaludin, seorang pengacara. Dalam permohonannya, Yasin melakukan uji materi tiga undang-undang, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Selanjutnya Ghufron memberikan keterangan terhadap permohonan Pemohon yang mendalilkan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ UU KPK.
“Berdasarkan pasal-pasal yang didalilkan tersebut, pada intinya, untuk pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian menjadi aparatur negara yang dibentuk negara sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019, Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK),” jelas Ghufron.
Menurut dia, norma tersebut merupakan suatu bentuk pengakuan negara kepada ketiga lembaga yang dituangkan secara jelas pada Pasal 45 ayat (1) UU KPK. Pada pasal ini disebutkan, Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Hal ini memperlihatkan politik hukum negara pada masa itu ingin mengkonsepsikan Kejaksaan dan Kepolisian yang memiliki sumber penyidikan yang dapat membentuk tim pelaksana pemberantasan tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Undang-Undang 30/2002 tersebut kata Ghufron, memberikan kewenangan pada KPK untuk melakukan peningkatan pemberantasan korupsi yang menggabungkan ketiga lembaga ini, yakni penyidikan dan penuntutan dari Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK,.
Di hadapan Sidang Pleno yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra, didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya, Ghufron menambahkan, pelaksanaan oleh tiga institusi dibutuhkan mengingat Indonesia masih berada pada posisi upaya maksimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sehingga hal yang perlu dipahami oleh Pemohon bahwa UU KPK dan UU Kejaksaan tidak digunakan secara berbenturan, tetapi saling melengkapi dan kesementaraan (aturan) ini hanya digunakan untuk masa yang masih diperlukan (hingga saat ini). Sebagai ilustrasi, Ghufron mengatakan, konsep penanganan korupsi secara terintegrasi dapat dilihat di KPK. Penyidikan dan penuntutan berada dalam satu atap yang sama. Ini dilakukan untuk penguatan fungsi KPK. Sehingga dalil yang disampaikan oleh Pemohon pada perkara ini lebih kepada bagaimana negara menstrukturisasi organnya dalam memberantas korupsi.
Keterangan berikutnya disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang menceritakan bagaimana quality control ketika suatu perkara korupsi ditangani oleh tiga institusi. Berdasarkan pengalamannya yang pernah menjadi Hakim Tipikor, di KPK terdapat disparitas terkait kualitas perkara yang ditangani.
Alex mengungkapkan, pada satu keadaan ditemui ada perkara yang ditangani polisi, yang pada keadaan ditangani KPK hanya menjadi saksi, sementara saat diperiksa oleh polisi masuk pada tahap menjadi tersangka. Atas hal ini, baik Kejaksaan atau Kepolisian sejatinya memiliki mekanisme untuk melaporkan tahap yang telah dilakukan ke KPK melalui Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
“Lewat SPDP yang dilaporkan secara online ini, kami menghendaki jangan hanya laporan saja tapi juga perkembangannya. Namun pada tataran pelaksanaan, yang diamanatkan undang-undang, tetapi praktiknya belum terlaksana baik, maka yang dirugikan penjara keadilan,” cerita Alex kepada para hakim konstitusi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi menyebutkan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Senin, 26 Juni 2023 pukul 11.00 WIB dengan agenda pemberian keterangan oleh Kepolisian RI. Hal yang perlu diperhatikan bahwa pihak yang menyampaikan keterangan (dari Kepolisian RI) adalah Eselon I atau sederajat. Diharapkan pula, keterangan tertulis dari pemberi keterangan dapat diserahkan dua hari sebelum sidang ke Kepaniteraan MK. (sa)