Opini
Kooptasi Polri dalam Kekuasaan: Negara di Bawah Bayang-Bayang Oligarki?
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

KOOPTASI kekuasaan yang melibatkan Polri bukan lagi sekadar teori konspirasi, melainkan kenyataan yang terang-benderang. Masuknya pejabat Polri ke dalam berbagai kementerian dan lembaga telah menjadikan pemerintahan seolah berjalan di bawah kendali kepolisian, bukan lagi berdasarkan konstitusi. Negara yang seharusnya dipimpin oleh otoritas sipil kini berada dalam cengkeraman aparat keamanan yang mestinya hanya berfungsi menjaga ketertiban, bukan mengendalikan birokrasi.
Polri: Dari Penegak Hukum Menjadi Satpam Oligarki?
Praktik ini bukan hal baru. Ekstensifikasi peran Polri di ranah sipil semakin menjadi-jadi. Bahkan, Polri kini bukan sekadar alat negara, melainkan alat oligarki. Dengan instruksi dan ancaman, siapa pun yang tidak tunduk pada kehendak kelompok elit bisa dengan mudah ditekan. Inilah realitas yang kita hadapi—Polri tak lagi sekadar penegak hukum, melainkan tameng bagi kepentingan tertentu.
Yang lebih mengkhawatirkan, model kooptasi Polri ini kini ditiru oleh TNI. Melalui revisi UU TNI yang memperluas peran mereka di sektor sipil, ancaman terhadap demokrasi semakin nyata. Jika sebelumnya kita hanya melihat Polri yang melampaui batas kewenangannya, kini giliran TNI ikut serta dalam perebutan posisi di pemerintahan.
Dari Negara Hukum Menjadi Negara Militeristik?
Dulu, kaidah sederhana berlaku: anggota Polri dan TNI yang ingin berkiprah di ranah sipil harus pensiun atau mengundurkan diri. Namun, aturan ini kini tak lebih dari sekadar teks mati dalam undang-undang. Rangkap jabatan yang mereka emban bukan hanya bertujuan untuk mengendalikan kekuasaan, tetapi juga untuk memperbesar akumulasi kapital. Negara ini secara perlahan berubah menjadi medan perebutan sumber daya oleh aparat keamanan yang mestinya netral.
Ironisnya, alih-alih mengembalikan Polri ke tugas utamanya sebagai pengayom masyarakat, negara justru membiarkan TNI ikut merumput di lahan yang seharusnya menjadi ranah sipil. Padahal, baik TNI maupun Polri telah mendapatkan anggaran negara yang bersumber dari pajak rakyat. Namun, mengapa mereka masih rakus untuk menguasai sektor sipil?
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kooptasi Polri dalam kekuasaan ini bukan kebetulan. Fenomena ini telah berlangsung sejak era Kapolri Tito Karnavian dan semakin menjadi-jadi di bawah kepemimpinan Listyo Sigit Prabowo. Data menunjukkan setidaknya ada 59 Perwira Tinggi (Pati) Polri yang kini menduduki jabatan strategis di berbagai kementerian dan lembaga tanpa mengundurkan diri dari dinas aktif. Ini adalah pelanggaran nyata terhadap UU RI No. 2 Tahun 2002 Pasal 28 yang dengan tegas menyatakan bahwa anggota Polri harus netral dalam politik dan tidak boleh menduduki jabatan sipil kecuali setelah pensiun.
Namun, fakta ini tidak mendapat respons tegas dari pemerintah. Sebaliknya, pembiaran terjadi, seolah negeri ini bukan lagi negara hukum, melainkan milik segelintir elite yang mengendalikan aparat keamanan untuk kepentingan mereka sendiri. Jika kondisi ini terus dibiarkan, jangan heran bila Polri benar-benar bertransformasi menjadi partai politik sendiri—seperti yang sudah diistilahkan sebagai "Parcok" (Partai Cokelat) oleh masyarakat.
Kasus Pagar Laut dan Perlindungan Kepentingan Oligarki
Lihat saja kasus pagar laut yang seolah berjalan di tempat. Proyek reklamasi untuk kepentingan industri properti Agung Sedayu Group justru semakin aman dengan keberadaan pejabat Polri di kementerian terkait. Dengan landasan hukum yang telah diamankan melalui PP No. 18 Tahun 2021, kasus ini semakin sulit disentuh. Alih-alih menindak pelaku utama, hukum justru diarahkan untuk menjerat pihak-pihak kecil, sementara oligarki tetap bebas menjalankan agendanya.
Mau Dibawa Kemana Republik Ini?
Ketika aparat keamanan mulai bercokol di posisi strategis sipil, kemana lagi rakyat harus mencari keadilan? Negara yang seharusnya menjadi pelindung malah sibuk berebut kekuasaan. Dari kooptasi Polri, kini giliran TNI ikut masuk ke ranah sipil. Demokrasi yang kita perjuangkan pasca-Reformasi 1998 kini terancam kembali ke era otoritarianisme dengan wajah yang lebih modern dan sistematis.
Jika rakyat terus diam, maka perlahan tapi pasti, kita akan kehilangan hak-hak kita sebagai warga negara. Sudah saatnya suara publik bersatu untuk menuntut reformasi kepolisian dan militer agar kembali pada tugas dan fungsinya yang sesungguhnya. Jika tidak, bersiaplah menyambut negara yang dikendalikan oleh aparat, bukan oleh konstitusi.
Penulis adalah Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)
#KooptasiPolri #PolriDiKekuasaan #ReformasiPolri #NegaraDalamBahaya #TolakMiliterisasiSipil