Opini
Keanggotaan Penuh Palestina di PBB
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
NYC SUBWAY, 18 April 2024 - Sudah sekitar 7 bulan pembantaian bahkan pemusnahan massal (genosida) kepada bangsa Palestina oleh penjajah Israel di Gaza berlangsung. Lebih 40,000 korban jiwa (lebih 2/5 di antaranya anak-anak dan wanita), penghancuran rumah-rumah, sekolah, rumah sakit, bahkan rumah-rumah ibadah (Masjid dan gereja). Kini selain pemboman, juga pemusnahan massal bangsa Palestina dengan apa yang disebut “starvation” (pembiaran mati kelaparan) dengan memblok bantuan makanan dan obat-obatan untuk masuk Gaza.
Kalaulah saja nurani manusia masih hidup, pastinya akan merasakan “piluh” dan “perih” melihat pembantaian yang sama sekali tidak berperikemusiaan itu. Kita menyaksikan dengan mata melalui ragam media sosial (yang lebih jujur dan transparan) setiap menit anak-anak Palestina terbantai. Dan mereka yang masih hidup harus mati pelan-pelan akibat malnutrisi karena tidak tersedianya makanan dan minuman, maupun obat-obatan untuk mereka yang luka dan sakit akibat serangan tentara penjajah.
Dan yang paling menyakitkan dari semua itu adalah ketika dunia menyaksikan dan seolah tak berdaya berbuat apa-apa. Dunia Arab dan dunia Islam sebagaimana tahun-tahun sebelumnya hanya mampu berkompetisi mengumbar “kutukan” (condemnation) atas apa yang terjadi. Tidak jarang pula terjadi “kemunafikan” nyata. Ada gap antara retorika di publik dan realita di belakang layar. Mengutuk Israel di muka umum. Tapi berangkulan dengannya di belakang pintu.
Realita dunia pun terbolak-balik. Di saat sebagian dunia Islam membuka hubungan diplomasi dengan negara penjajah Israel, justru beberapa negara non Islam mengambil sikap tegas dan jelas menentang kebiadaban Israel di Gaza. Afrika Selatan di Afrika, Colombia di Amerika Latin, dan Spanyol di Eropa bahkan tanpa ragu mendeklarasikan pengakuan penuh terhadap Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Spanyol bahkan bertekad berkeliling Eropa untuk mempromosikan Palestina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Colombia memutuskan hubungan diplomasi dengan Israel. Sementara Afrika Selatan menjadi pihak terdepan membawa Israel ke Mahkamah Internasional.
Sementara itu di tengah pembantaian yang terus berlangsung baik di Gaza maupun kawasan lain di Palestina, perjuangan diplomasi Palestina di dunia internasional semakin menguat dan mengalami penerimaan yang tinggi. Kenyataan ini menjadi kesempatan besar bagi pejuang diplomasi Palestina untuk mendapat pengakuan yang semakin kuat dan luas di kalangan dunia internasional. Salah satunya dengan mengupayakan keanggotaan penuh Palestina pada organisasi dunia PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Kemarin, pada Kamis 17 April 2024, upaya itu telah dilangsungkan melalui badan DK-PBB (United Nations Security Council) yang beranggotakan 15 negara. 10 negara anggota tidak tetap. Dan 5 lainnya adalah negara anggota tetap (Permanent Member States). Kelima negara itu adalah Amerika Serikat, China, Rusia, Prancis dan Inggris. DK-PBB inilah sesungguhnya yang menentukan hampir semua permasalahan dunia, khususnya yang berkenaan dengan keamanan dunia (world security).
Tapi sesungguhnya dari 15 anggota DK-PBB itu, sepuluh lainnya hanya sebagai pelengkap. Justru hitam putihnya dunia itu ada di tangan lima anggota tetap DK-PBB. Sekiranya semua anggota Dewan Keamanan PBB setuju atas sebuah resolusi atau keputusan, bahkan semua negara-negara anggota dunia, tapi satu dari lima anggota tidak tetap itu menolak maka resolusi itu akan tertolak. Hak penolakan anggota tetap DK-PBB itu disebut “hak veto” (veto right). Amerika adalah negara tetap DK-PBB yang paling sering memakai hak veto itu, apalagi jika berkaitan dengan pembelaan kepada Israel.
Di sinilah sesungguhnya penampakan realita Amerika. Artinya ada realita yang hanya akan menampakkan diri melalui grasah-grusuh hubungan global yang membingungkan ini. Bahwa betapa sering kali negara sebesar dan sekuat Amerika terkontrol oleh kepentingan segelintir yang “sangat kuat”. Dukungan Amerika yang membabi buta terhadap Israel sering kali tidak mampu dipahami oleh nalar normal manusia. Tapi itulah kenyataan dan realita yang menampakkan diri pada momen-momen seperti saat ini.
Dalam seminggu ini ada dua hal yang mengekspos betapa dukungan Amerika sebagai institusi (bukan masyarakat) kepada Israel begitu “blinded” (terbutakan). Satu, resolusi US Kongress (DPR) untuk menjadikan slogan: “from the river to the sea, Palestine will be free” ditetapkan sebagai slogan “anti Yahudi” (anti Semitism). Padahal di sisi lain Amerika sangat bangga dengan nilai “kebebasan berekspresi”. Tapi ketika sudah bersentuhan dengan Israel semua menjadi terkalahkan dan terabaikan.
Dua, lagi-lagi Amerika tanpa malu dan tanpa mempertimbangkan kepentingan globalnya sendiri menggagalkan usulan keanggotaan penuh Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lagi-lagi hak Istimewa Amerika sebagai anggota tetap DK (veto right) dipergunakan untuk membela Israel tanpa “reservasi”. Bahkan walaupun dengan kenyataan bahwa dengan veto seperti ini posisi Amerika akan semakin melemah di dunia internasional.
Dengan keputusan veto Amerika ini Palestina kembali gagal menjadi anggota penuh PBB, yang seharusnya punya hak yang sama seperti negara-negara anggota lainnya. Peristiwa ini mengingatkan saya ketika Timor Timur memenangkan referendum ketika itu. Hanya berselang beberapa hari saja negara itu resmi menjadi anggota penuh PBB.
Sekali lagi, Amerika tanpa malu-malu kembali mendemonstrasikan “hypocrisy” di mata dunia.
What a shame!