Opini
Isra’ Mi’raj dan Realita Umat Part; 4
DENGAN kecepatan alat transportasi “Buraq” itu menjadikan Rasulullah dalam sekejap mata tiba di kota Yerusalem. Menurut riwayat setiba di kota itu beliau mengikat untanya di tempat khusus di sekitar Masjidil Aqsa sebelum memasuki Masjid itu. Disebutkan juga bahwa tempat di mana Rasulullah mengikat Buraq itu juga tempat mengikat unta atau hewan yang mereka kendarai. Sehingga sebagian Imam secara bercanda mengatakan perlunya para Imam memiliki tempat parkir khusus di depan Masjid.
Rasulullah SAW kemudian memasuki area Masjidil Aqsa. Saya menyebutnya “area” karena ketika itu memang belum ada gedung Masjid. Sebagaimana diketahui Kota Yerusalem saat itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Romawi Kristen. Mereka bahkan tidak memperkenankan Komunitas Yahudi untuk tinggal dan beribadah di Kota Suci Yerusalem. Rumah ibadah Yahudi dirusak dan dijadikan tempat sampah oleh mereka.
Rasulullah SAW kemudian melaksanakan Shalat dua dua raka’at. Sebuah praktek keagamaan yang kemudian secara syariah ditetapkan sebagai Shalat sunnah Tahiyatul Masjid di kemudian hari. Praktek ini sekaligus menggambarkan keterikatan syariah Islam dengan praktek-praktek keagamaan terdahulu. Bahwa Islam bukan agama baru. Tapi hadir sebagai corrector (meluruskan) ajaran para nabi/Rasul yang telah dirusak, sekaligus membawa ajaran agama yang sempurna untuk seluruh alam semesta.
Setelah Sholat (kita sebutlah Sholat Sunnah tahiyyatul Masjid) Rasulullah menengok ke belakang dan beliau melihat penampakan para nabi terdahulu. Beliau melihat Adam dengan tubuh yang tinggi besar. Beliau juga melihat Musa yang tinggi besar dan kekar dengan warna kulit yang agak kecoklatan. Di sampingnya ada Isa dan Harun yang menyerupai bangsa Syam (sekarang diistilahkan Semite). Tapi yang unik adalah nabi Ibrahim AS yang beliau sebutkan sangat menyerukan dirinya. Secara fisik Rasulullah SAW sangat mirip dengan kakeknya Ibrahim AS.
Hadirnya para nabi dan rasul membersamai Rasulullah di Masjidil Aqsa, dan pertemuan beliau dengan sebagian nabi dan Rasul dalam perjalanan ke atas (mi’raj) sebentar lagi menunjukkan bahwa misi kenabian dan kerasulan itu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di sinilah kebenaran Islam yang dengan tegas mendeklarasikan “kesatuan iman” kepada seluruh nabi/Rasul dan Kitab suci. Islam tidak membeda-membedakan para nabi dan Rasul dalam hal keimanan dan agama. Walaupun memiliki derajat yang berbeda-beda, mereka semua diutus untuk membawa ajaran yang satu: “sembahlah Allah, tiada Tuhan selain Dia”.
Ketegasan Islam tentang keimanan kepada semua nabi ini menggambarkan universalitas Islam, sekaligus menekankan bahwa ajaran yang bisa menyatukan manusia yang terfragmentasi itu adalah ajaran Islam. Islam mampu menyatukan manusia dengan segala keragaman yang ada. Karena perbedaan apapun yang dimilikinya secara lahir duniawi, manusia secara hati dan spiritualitas adalah satu kesatuan.
Riwayat selanjutnya menyebutkan bahwa ketika waktu Sholat telah tiba, mereka melakukan Sholat berjamaah dan Rasulullah SAW mengimami semua para nabi yang hadir bersamanya. Sebuah peristiwa yang mengkonfirmasi jika Rasulullah SAW adalah penghulu para nabi dan Rasul. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran Tuhan yang sempurna untuk seluruh tempat dan waktu. Dan Karenanya beliau ditetapkan sebagai “sayyidul mursalin” dan “khataman nabiyyin” (penutup para nabi).
Dengan imamah (kepemimpinan) Rasulullah ini kepada semua nabi dan Rasul menguatkan bahwa umatnya adalah umat yang seharusnya berada pada posisi kepemimpinan (imaaman linnaas). Itulah arti sesungguhnya dari “wasatiyah” (pertengahan) dan “khaeriyah” (terbaik) umat ini. Sebagai umat terbaik (khairu Ummah) dan umat yang menjadi percontohan (salah satu arti wasatiyah) umat ini seharusnya menjadi pemimpin bagi umat-umat yang lain dalam membangun dunia yang lebih baik. Dunia yang adil, damai dan berkemakmuran untuk semua. Semoga!
Berlanjut…!