Opini
Hijrah dan Tahun Baru Islam
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*
BELLEVUE HOSPITAL, 8 Juli 2024 – Pada Ahad, 7 Juli kemarin menjadi hari yang sangat penting. Hal itu karena hari itu adalah tgl 1 Muharram 1446 Hijriyah. Sebuah hari yang seharusnya menjadi hari selebrasi bagi umat ini. Hari yang seyogyanya disikapi dengan kegembiraan dan suka cita. Tidak saja karena merupakan tahun baru bagi Islam. Tapi juga memiliki nilai sejarah penting (historical significance) dalam rentetan perjalanan sejarah Islam.
Adalah Umar Ibnu Khattab, Khalifah Rasyidah kedua, yang menetapkan kalender Islam bagi umat ini. Penetapan awal penanggalan ini juga ditandai dengan peristiwa sejarah yang penting tadi. Yaitu hari Hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Hari yang menjadi penentu survival (keberlanjutan) Dakwah Rasulullah SAW.
Pemilihan Hijrah sebagai awal bagi penanggalan (kalender) Islam bukan tanpa makna. Pemilihan ini juga sesungguhnya memiliki makna yang sangat signifikan dalam perjalanan sejarah Islam dan umat. Hal ini juga tidak lepas dari kenyataan bahwa Umar Ibnu Al-Khattab adalah seorang sahabat yang memiliki intelijensia yang tinggi. Bukan hanya kepintaran akal. Tapi yang terpenting adalah kepintaran batin (spiritual intelligence) yang sangat tajam.
5 tahap perjuangan hingga kemenangan
Jika kita menelusuri derap langkah perjuangan Rasulullah dalam mendakwahkan agama ini, akan kita dapati lima tahap penting yang dilalui hingga tercapainya “fathan mubina” (kemenangan besar itu).
Pertama, kelahiran Muhammad yang lebih populer di dunia Islam dengan “Maulid Nabi”. Beliau yang terlahir itu bukan sekadar seorang manusia (basyar) seperti kita semua. Tapi yang terlahir adalah manusia terbaik dan termulia (khaerul anaam) sekaligus penghulu (sayyid) dan penutup (khatam) para nabi dan Rasul. Yang lebih penting lagi beliau diamanahi oleh Pencipta langit dan bumi untuk membawa agama dalam formatnya yang sempurna ke seluruh penjuru dunia. Semua ini menjadikan kelahirannya menjadi sangat istimewa dalam perjalanan sejarah Islam.
Kedua, diangkatnya Muhammad (SAW) menjadi nabi dan Rasul Allah. Hal itu ditandai dengan turunnya wahyu pertama kepada beliau “Iqra’”. Dengan pengangkatan beliau menjadi nabi dan Rasul yang dikenal dengan “bi’tsah ar-Rasul” ini jalan juang dimulai. Langkah juang sejak itu berjalan ke depan tanpa henti dan tak akan mundur. Sebagaimana sikap Rasulullah di saat diiming-imingi dengan ragam janji duniawi agar dakwahnya dihentikan.
Ketiga, terjadinya proses awal soliditas umat di Mekah. Tahap ini ditandai dengan meningginya resistensi kafir Quraish yang salah satunya dengan diboikotnya keluarga Rasulullah, Bani Hasyim. Satu hal yang kemudian terjadi pada fase ini adalah meninggalnya dua orang terdekat Rasuluh; istri beliau Khadijah RA dan paman beliau Abu Thalib. Di saat-saat seperti inilah Allah memperjalankan hamba-Nya di malam hari yang disebut “Isra’ Mi’raj”.
Pada fase ini sesungguhnya terjadi kebangkitan Islam (dan umat Islam) pada tataran individual. Kebangkitan umat secara individual itu ditandai dengan penguatan ruhiyah (spiritualitàs). Dan inilah sesungguhnya yang terjadi dengan Isra’ Mi’raj dan secara khusus diterimanya perintah salat lima waktu. Salat adalah jalan penguatan spiritual tertinggi dalam Islam. Karena Salat adalah “mi’raj” orang-orang beriman.
Keempat, tiba masa kebangkitan umat secara komunal (kolektif). Kebangkitan komunal inilah yang terjadi melalui proses Hijrah Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Madinahlah yang menjadi tempat terbangunnya struktur keumatan yang di kemudian para hari-hari selanjutnya tumbuh menjadi a global
Community (ummatan).
Kelima, terjadinya pembukaan atau kemenangan dengan Fathu Makkah Setelah melalui ragam tantangan Dakwah. Dari serangan eksternal (Musyrik Mekah) hingga ke pengkhianatan internal (kaum munafik dan kaum Yahudi. Bahkan terjadi kolaborasi musuh-musuh dalam selimut dengan musuh-musuh dari luar untuk mengeliminasi komunitas atau bangsa baru itu. Semua itu ternyata menjadi bagian dari langkah-langkah atau pintu-pintu bagi kemenangan yang dijanjikan dan nyata. Kurang dari 10 tahun setelah hijrahnya, Rasulullah berhasil masuk kembali ke Mekah dan membersihkan kota tauhid itu dari najis-najis kesyirikan kaum kafir Quraish.
Kalender Islam itu simbol kejayaan
Kelima tahap atau fase kebangkitan umat di atas saling terkait. Secara khusus Isra’ Mi’raj menjadi momentum awal bagi terjadinya Hijrah Rasulullah SAW. Ini bermakna bahwa kebangkitan umat secara individual banyak menentukan bagi kebangkitannya secara komunal.
Memahami fase-fase kebangkitan Islam ini sekaligus menjelaskan bahwa ditetapkannya peristiwa Hijrah sebagai awal penanggalan Islam mengandung makna identitas dan jati keumatan. Bahwa Islam sebagai agama kehidupan, tidak saja memiliki identitas individual. Tapi sekaligus agama kolektif dengan identitasnya keumatannya. Dengan sendirinya dipahami jika penanggalan atau kalender Islam bagi umat ini, bukan sekadar hitung-hitungan hari dan bulan. Tapi sebenarnya menjadi salah satu identitas kolektif umat yang penting yang harus dibanggakan.
Mirisnya, pada umumnya umat tidak tahu dan/atau tidak peduli dengan signifikansi kalender Islam ini. Umat bersikap biasa-biasa saja bahkan seolah tak peduli dengan tibanya tahun baru Islam. Hampir tidak ada simbol-simbol selebrasi dan kegembiraan yang menandakan kebanggaan itu. Hal yang berbeda ketika sebagian menyambut tahun baru Masehi/Miladi. Di mana-mana terlihat perayaan dengan ragam simbol seperti lampu-lampu dan hiasan-hiasan lainnya.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa penetapan tanggalan Islam atau kalender Islam dengan peristiwa Hijrah memiliki makna yang sangat penting. Yaitu simbol kebangkitan umat secara kolektif sekaligus menjadi identitas kolektifnya yang harusnya membanggakan. Sayangnya, umat pada umumnya tidak sadar dan tidak peduli. Bahkan kebanyakan masih belum menghafal nama-nama bulan kalender Hijriyah. Ironis kan? (*Presiden Nusantara Foundation & Chaplain di Bellevue Hospital NYC)