Opini
Barisan Ksatria Nusantara dan PIK-2: Antara Kepentingan dan Hipokrisi
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

GELAGAT hipokrisi kembali mencuat dalam pusaran proyek reklamasi kontroversial PIK-2. Nama Rofi'i Muchlis, yang kerap tampil dalam berbagai forum diskusi terkait "pagar laut," kini terseret dalam kontroversi baru setelah video dirinya bersama sejumlah pengurus Barisan Ksatria Nusantara (BKN) beredar luas. Dalam video tersebut, Rofi'i dan rekan-rekannya tampak mempromosikan pembangunan masjid di kawasan PIK-2, bahkan di ujung video terlihat dirinya memberi penghormatan kepada Aguan, pemilik proyek tersebut.
Dinamika Diskusi dan Posisi yang Dipertanyakan
Dalam berbagai diskusi publik—mulai dari ILC, TVRI, hingga Sindo Prime—Rofi'i berulang kali membantah bahwa dirinya bagian dari tim pembela PIK-2. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Tawaran Rofi'i untuk menjadi jembatan antara penulis dan pihak PIK-2 dalam diskusi TVRI sempat ditolak, karena ia tidak memiliki legal standing untuk mewakili kepentingan Aguan atau proyek tersebut.
Kini, dengan beredarnya video yang memperlihatkan kedekatan BKN dengan PIK-2, muncul pertanyaan besar: apakah BKN masih menjadi representasi kepentingan rakyat, atau telah bertransformasi menjadi Barisan Kesatria Aguan (BKA)?
Masjid PIK-2: Simbol Iman atau Alat Propaganda?
Pembangunan masjid di kawasan PIK-2 kini menjadi perbincangan hangat. Namun, ada beberapa catatan kritis yang patut diperhatikan:
Masjid Tidak Menghalalkan Kezaliman
Pembangunan satu masjid tidak serta-merta menghapus dosa proyek yang dituding melakukan perampasan tanah rakyat, baik di darat maupun laut. Masjid ini justru mencuat setelah gelombang kritik dari umat Islam terhadap proyek PIK-2 semakin besar.
Dibangun untuk Kepentingan Bisnis, Bukan Ibadah
Berbeda dengan masjid yang dibangun berdasarkan kebutuhan umat, masjid di PIK-2 lebih terkesan sebagai alat pemasaran untuk mendukung citra proyek. Sementara ribuan masjid di Indonesia lahir dari ketakwaan, masjid ini justru di glorifikasi untuk menutupi masalah proyek properti tersebut.
Mirip Masjid Dhirar di Era Nabi
Pembangunan masjid ini mengingatkan pada masjid dhirar di zaman Rasulullah—dibangun bukan untuk kepentingan ibadah yang tulus, melainkan untuk agenda tertentu. PIK-2 menggunakan strategi yang sama: menampilkan simbol Islam untuk meredam kritik dan mendapatkan legitimasi dari umat.
Nusantara: Stereotip Negatif yang Berulang?
Fenomena ini bukan kali pertama "Nusantara" digunakan untuk tujuan manipulatif. Sebelumnya, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan tausiyah agar proyek PIK-2 dibatalkan karena mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya, tiba-tiba muncul Majelis Ulama Nusantara (MUN) yang mengambil posisi berseberangan. Demikian pula dengan pemindahan ibu kota ke Nusantara yang kini berakhir dengan stagnasi.
Kesimpulan: Propaganda Tidak Bisa Menghapus Fakta
Masjid di PIK-2 mungkin akan berdiri megah, tetapi ia tidak akan mampu mengubah realitas kezaliman yang terjadi. Pembangunan rumah ibadah tidak dapat menjadi justifikasi untuk menghalalkan proyek yang dinilai merugikan rakyat Banten. Umat Islam harus cerdas membaca situasi, agar tidak terjebak dalam strategi marketing yang berkedok kepentingan agama.
Penulis adalah Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)
#PIK2 #Reklamasi #Banten #MasjidDhiror #Islam #TanahRakyat #Hipokrisi