Nasional

BMKG: Indonesia Miliki Teknologi Atasi Krisis Air

Redaksi — Satu Indonesia
17 Oktober 2023 10:26
BMKG: Indonesia Miliki Teknologi Atasi Krisis Air
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin (16/10/2023). (Foto: ANTARA)

JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyoroti kemampuan teknologi yang dimiliki oleh Indonesia dalam mengatasi krisis air yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Dalam pernyataannya di Jakarta pada hari Selasa (17/10/23), Dwikorita Karnawati mengungkapkan, "Indonesia memiliki kemampuan teknologi yang cukup baik, ditambah berbagai kearifan lokal budaya masyarakat yang dapat menutup kesenjangan kapasitas dan ketangguhan dalam mengatasi krisis air akibat perubahan iklim."

Dia menggarisbawahi pentingnya memiliki teknologi yang mumpuni untuk meminimalisir risiko bencana alam yang dapat muncul akibat perubahan iklim.

Dwikorita menyatakan bahwa dengan teknologi yang mumpuni, informasi dan data cuaca dan iklim dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk mengambil berbagai tindakan pencegahan, mitigasi, dan pengurangan risiko bencana sebelum bencana itu terjadi.

Dwikorita juga mencatat bahwa saat ini terdapat kesenjangan yang signifikan antara negara maju dan negara berkembang, terutama negara kepulauan dan negara miskin dalam hal kapasitas sosial-ekonomi dan teknologi.

Menurutnya, hal ini berdampak langsung pada kemampuan suatu negara untuk beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim, terutama yang terkait dengan ketersediaan air, pangan, dan energi.

Dalam konteks ini, Dwikorita merujuk pada laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) yang mencatat bahwa sekitar 60 persen kerugian akibat bencana di negara maju disebabkan oleh perubahan iklim, namun dampaknya terhadap produk domestik bruto (PDB) negara-negara ini hanya sekitar 0,1 persen.

Di sisi lain, negara berkembang dapat mengalami dampak hingga 5-30 persen terhadap PDB akibat bencana, dan bagi negara kepulauan, 20 persen dari bencana dapat berdampak hingga 50 persen terhadap PDB. Beberapa negara bahkan bisa menghadapi dampak yang mencapai 100 persen terhadap PDB.

Dwikorita mengingatkan bahwa situasi ini semakin memperparah kesenjangan ekonomi yang dapat memengaruhi tingkat kesejahteraan dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.

Dia menegaskan bahwa World Water Forum (WWF) yang akan digelar di Bali pada 18-24 Mei 2024 mendatang merupakan kesempatan bagi kolaborasi dalam upaya untuk mengatasi kesenjangan antar negara dalam menghadapi krisis iklim dan krisis air, baik dalam skala global, regional, maupun lokal.

Dwikorita menambahkan bahwa untuk mengantisipasi krisis air yang akan datang, diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat, dan media. (ant)
 
 
 


Berita Lainnya